Jakarta, 21 Oktober 2010 - Beberapa pabrikan baik motor dan mobil meminta agar standar emisi gas buang dapat ditingkatkan. PT Pertamina pun mengaku siap merealisasikan hal tersebut bila memang ada instruksi dari pemerintah.
Saat ini standar emisi yang ditetapkan di setiap kendaraan yang beredar di jalanan Indonesia adalah Euro2. Beberapa kalangan mengatakan ada baiknya meningkatkan standar itu minimal menjadi Euro3 untuk menekan polusi kendaraan.
"Pada prinsipnya Pertamina siap. Kita punya SDM dan fasilitas yang sangat baik. Kita juga punya jaringan distribusi yang luas," ujar Vice Presiden Corporate Communication PT Pertamina M Harun beberapa waktu lalu.
Dengan kemampuan tersebut maka Pertamina menurut Harun selalu siap. Tinggal pemerintahnya saja yang menerapkan regulasi terkait hal ini. "Kita tunggu instruksi dari pemerintah dan lihat bagaimana regulasinya," cetus Harun.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata mengatakan kalau seluruh pabrikan motor yang ada di Indonesia sebenarnya sudah siap untuk beranjak dari standar Euro2 ke Euro3 asalkan bahan bakar yang beredar sekarang kualitasnya meningkat.
Sebab teknologi Euro3 dianggap akan sia-sia saja bila kualitas bahan bakar yang beredar sekarang masih jelek.
"Kawan-kawan tidak masalah. Tapi kalau bahan bakarnya tidak ada ya jadi
mubazir," ungkap Presdir Indomobil Group ini beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut Gunadi menjelaskan bahwa peningkatan standar emisi menjadi Euro3 selain akan berdampak positif pada lingkungan juga dianggap memberi nilai lebih bagi industri.
Sebab hampir semua produsen motor yang ada di Indonesia mengekspor produknya ke luar negeri. Nah dengan perbedaan standar antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor yang rata-rata sudah menerapkan standar Euro3 ke atas ini, ongkos produksi untuk ekspor tentu akan jadi tinggi.
"Kalau kita bisa mendapatkan BBM yang cocok, produknya bisa kita trim ke arah itu. Jadi tidak ada perbedaan antara produk yang dipasarkan di dalam negeri dengan yang diekspor. Total produksi pun akan lebih efisien," jelasnya.
"Kalau sekarang, setiap pabrik jadi harus punya dua alat. Satu alat untuk
produksi standar Euro2, satu lagi Euro3 untuk ekspor. Ini kan tidak efisien," pungkasnya.
Industri roda empat pun cukup kerepotan karena bahan bakar yang standarnya masih rendah. Di Jepang, tempat sebagian besar produsen mobil mengimpor mobilnya sudah menganut Euro4.
Pabrikan pun terpaksa menyesuaikan mesin yang diimpor secara utuh menjadi mesin yang bisa meminum BBM Euro2 di Indonesia. Seperti yang dilakukan Nissan dengan Elgrandnya.
Saat ini standar emisi yang ditetapkan di setiap kendaraan yang beredar di jalanan Indonesia adalah Euro2. Beberapa kalangan mengatakan ada baiknya meningkatkan standar itu minimal menjadi Euro3 untuk menekan polusi kendaraan.
"Pada prinsipnya Pertamina siap. Kita punya SDM dan fasilitas yang sangat baik. Kita juga punya jaringan distribusi yang luas," ujar Vice Presiden Corporate Communication PT Pertamina M Harun beberapa waktu lalu.
Dengan kemampuan tersebut maka Pertamina menurut Harun selalu siap. Tinggal pemerintahnya saja yang menerapkan regulasi terkait hal ini. "Kita tunggu instruksi dari pemerintah dan lihat bagaimana regulasinya," cetus Harun.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata mengatakan kalau seluruh pabrikan motor yang ada di Indonesia sebenarnya sudah siap untuk beranjak dari standar Euro2 ke Euro3 asalkan bahan bakar yang beredar sekarang kualitasnya meningkat.
Sebab teknologi Euro3 dianggap akan sia-sia saja bila kualitas bahan bakar yang beredar sekarang masih jelek.
"Kawan-kawan tidak masalah. Tapi kalau bahan bakarnya tidak ada ya jadi
mubazir," ungkap Presdir Indomobil Group ini beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut Gunadi menjelaskan bahwa peningkatan standar emisi menjadi Euro3 selain akan berdampak positif pada lingkungan juga dianggap memberi nilai lebih bagi industri.
Sebab hampir semua produsen motor yang ada di Indonesia mengekspor produknya ke luar negeri. Nah dengan perbedaan standar antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor yang rata-rata sudah menerapkan standar Euro3 ke atas ini, ongkos produksi untuk ekspor tentu akan jadi tinggi.
"Kalau kita bisa mendapatkan BBM yang cocok, produknya bisa kita trim ke arah itu. Jadi tidak ada perbedaan antara produk yang dipasarkan di dalam negeri dengan yang diekspor. Total produksi pun akan lebih efisien," jelasnya.
"Kalau sekarang, setiap pabrik jadi harus punya dua alat. Satu alat untuk
produksi standar Euro2, satu lagi Euro3 untuk ekspor. Ini kan tidak efisien," pungkasnya.
Industri roda empat pun cukup kerepotan karena bahan bakar yang standarnya masih rendah. Di Jepang, tempat sebagian besar produsen mobil mengimpor mobilnya sudah menganut Euro4.
Pabrikan pun terpaksa menyesuaikan mesin yang diimpor secara utuh menjadi mesin yang bisa meminum BBM Euro2 di Indonesia. Seperti yang dilakukan Nissan dengan Elgrandnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar